Pernahkah kita membayangkan gambaran presiden suatu negara makan dengan "tangan besar" atau ketika pakaiannya dirobek lalu dijahit kembali? Ya, imajinasi itu terjadi pada diri Bung Karno, presiden pertama Indonesia. Mungkin banyak orang yang belum mengetahui cerita ini, namun itulah yang menarik dari Bung Karno.
Ada cerita dalam buku Kesaksian Bung Karno 1945-1967 terbitan Grasindo tahun 1999 yang dikisahkan oleh mantan komandan detasemen H Mangil Martowidjojo.
Kepribadian Bung Karno dikenal dengan karakternya yang sederhana, egaliter, dan protektif. Maka tidak mengherankan jika masyarakat saat itu sepertinya tidak memiliki batasan dengan presidennya. Hal ini terlihat dari cara orang Bung makan di Istana dengan tangan “muluk” (Jawa) tanpa menggunakan sendok atau garpu.
Semangkuk kecil nasi saja sudah cukup. Bung Karno menyukai sayur lodeh, sayur asam dan telur goreng serta ikan asin dan sambal. Saat makan sambal, selalu sobek sambalnya. Suatu hari, seusai mengunjungi Istana Merdeka, Bung Karno mengajak Letnan Soetikno, Asisten Presiden, dan Mangil untuk sarapan bersama.
Bung Karno menyantap semangkuk kecil nasi, daun singkong, sambal, dan ikan goreng asin. Buahnya adalah sawo dan pisang.
Bung Karno makan dengan tangan, sedangkan Letnan Soetikno dan Mangil menggunakan sendok dan garpu. Dia hanya minum teh. Soal pakaian, meski pakaian Bung Karno sederhana, namun kebersihannya sangat diperhatikan. Tidak jarang Bung Karno meluruskan pakaian yang tidak rapi atau dasi yang bengkok.
Jika pakaian robek, alih-alih segera diganti, Bung Karno memilih menjahitnya kembali. Apalagi jika baju tersebut benar-benar disayang, meski robek atau dijahit, tetap bisa dipakai.
Bahkan sandal pun suka memakai sandal bekas. Bung Karno juga menyukai kursi rotan tua karena dibentuk sesuai bentuk tubuh orang yang duduk.